Selasa, 17 Februari 2009

pendidikan moral bagi murit di sekolah

MIRIS dan batin terasa teriris saat mendengar ada banyak cerita yang menyebutkan moralitas anak sekolah kini patut dipertanyaakan. Apalagi sebagai seorang pendidik, hal tersebut tentu menjadi pukulan berat bagi kita. Kita pun lantas bertanya? Sudah sejauhmana pengajaran moral yang kita berikan kepada anak didik kita? Atau jangan-jangan tidak pernah sama sekali tersampaikan.
Tengok saja berita tentang sejumlah gadis SMA yang telah menjadi “anak ayam” dimana guru menjadi mucikarinya. Banyak pula siswi SMA di berbagai kota besar, ternyata berprofesi ganda, bukan hanya sebagai pelajar, tetapi juga menjadi pelacur kelas atas. Aspek kesucian hidup dan moralitas pun semakin tersisihkan.
Selain itu, pelajar kini akrab dengan narkoba. Berbagai macam jenis narkoba marak beredar di kalangan anak sekolah. Lebih mengerikan, penjual dan pembeli juga adalah orang-orang yang masih berstatus siswa. Mereka menjadi pengedar dan sekaligus juga pengguna.
Kehidupan yang rusak seperti itu pun kerapkali dibarengi dengan berbagai pesta yang berujung pada tindakan amoral di kalangan mereka. Anak-anak remaja kini, tidak lagi mempertimbangkan rasa takut untuk hidup rusak, merusak nama baik keluarga dan masyarakatnya.
Daftar di atas masih bisa terus diperpanjang dengan berbagai kasus lainnya, seperti pemerasan siswa terhadap siswa lain, kecurangan dalam ujian, dan berbagai tindakan yang tidak mencerminkan moral siswa yang baik.
Realitas demikian tentu menjadi tanda tanya besar bagi kita sebagai pendidik, apakah hal seperti demikian lepas dari tanggung jawab sekolah sebagai institusi pendidikan? Ternyata, mendidik anak sekarang bukan menjadi hal yang sepele dan tanpa perhitungan. Mendidik anak di sekolah tanpa suri teladan dan kualitas moral guru, akan beresiko besar terhadap masa depan anak didik kita.
Pendidikan bukan sebatas memberikan informasi dan pengetahuan kognitif sebanyak-banyaknya kepada siswa. Namun juga bagaimana membesarkan seorang anak didik dengan benar. Karenanya, pendidikan tidak saja mengandung aspek kognitif, tetapi juga aspek mental, moral, dan spiritual.
Sekalipun para pakar, bahkan sampai banyak orang pada umumnya, sadar bahwa pendidikan bukan hanya pengetahuan, tetapi pembentukan manusia seutuhnya, tetapi di dalam prakteknya, banyak sekolah saat ini yang lebih banyak memperhatikan aspek kognitif saja, dan mengabaikan semua aspek lainnya.
Gejala pengabaian aspek moral dalam sekolah terlihat semakin lama semakin marak. Jarang sekali sekolah mengeluarkan ungkapan tentang pertanggungjawaban moral guru di dalam pendidikan. Sekolah menjadi tidak peduli bagaimana sikap moral guru di luar sekolah. Sementara di satu sisi, sekolah menekan siswanya untuk bermoral baik.
Dengan demikian, memberikan pendidikan moral kepada siswa harus diawali terlebih dahulu oleh para pendidiknya. Adalah sia-sia, jika kita menyuruh siswa untuk berkata sopan nan santun sementara kita sendiri tanpa disadari sering berkata kasar.
Pendidikan moral memiliki peranan penting dalam mencetak generasi muda bangsa. Pasalnya, pendidikan moral yang buruk dalam sekolah hanya akan menghasilkan penjahat-penjahat canggih di masa depan. Seorang siswa yang pandai, dengan berbagai pengetahuan yang banyak, tetapi bermoral rusak, akan menjadi alat perusak masyarakat yang berbahaya sekali.
Dr. Kartini Kartono, seorang pakar pendidikan pernah berujar, salah langkah dalam kegiatan mendidik akan membuahkan tipe manusia “salah jadi” yang mengerikan dan berbahaya bagi kehidupan bersama di masa mendatang. (Kartini Kartono, Quo Vadis Pendidikan Indonesia, 1991)
Karenanya, saat sekolah melakukan sesuatu dalam pendidikan moral. Salahsatunya, setiap institusi pendidikan atau sekolah perlu memperhatikan bukan hanya dari hebat pengetahuan atau gelar guru, tetapi juga perilaku moralnya. Karena itu, perlu ada mekanisme pengujian kehidupan keseharian insan pendidik, bukan hanya kekuatan intelektualnya saja.
Selain itu, hal yang paling urgens yang harus dilakukan sekolah adalah bergandengan tangan dengan orang tua di dalam mendidik anak, sehingga pendidikan anak berjalan secara integratif.
Hal ini terkadang terabaikan, karena dianggap terlalu menyulitkan bagi pihak sekolah. Sekolah hanya sibuk mengukur kemampuan intelektual anak didiknya, dan berbangga diri jika anak-anak didiknya berhasil dengan nilai intelektual yang tinggi dan mempunyai pengetahuan yang banyak.

Rabu, 11 Februari 2009

sebel......

percobaan...............